Jakarta, CNN Indonesia —
Satgas Pembangunan Infrastruktur IKN menyebut konflik yang terjadi antara Iran dan Israel berpotensi meningkatkan harga material yang digunakan untuk membangun proyek Ibu Kota Negara Nusantara.
“Itu ada kemungkinan naik, ya, pasti ada, karena kita kan berbicara suplai. Mungkin tak langsung juga, tapi mungkin berpengaruh misalnya pada transportasi mungkin ada kenaikan itu saja,” ucap Ketua Satgas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN Danis H Sumadilaga di Kantor Kementerian PUPR, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (19/4) seperti dikutip dari detikfinance.
Namun, Danis menjelaskan bahwa hal itu masih dugaan semata. Pihaknya pun sedang melakukan identifikasi dan mengkaji dampak konflik Iran-Israel terhadap kenaikan harga bahan baku bangunan di IKN.
Adapun untuk proyek yang sudah berjalan, Danis menjelaskan bahwa biaya material sudah terkandung dalam kontrak yang sudah diteken oleh pihaknya. Sampai hari ini, total nilai keseluruhan untuk kontrak itu berkisar di angka Rp 70 triliun.
“Kita sedang mengamati situasinya. Kalau sampai saat ini insya Allah kontrak kita aman, kontrak kita kan memang jelas, MYC (Multi Years Contract), kalau nanti ada kebijakan eskalasi ya kita ikuti kalau memang terjadi,” imbuhnya.
Hubungan Iran-Israel memanas belakangan ini. Hal itu dipicu aksi Iran menyerang Israel pada pekan lalu.
Imbas situasi tersebut, nilai tukar rupiah ambles ke Rp16 ribu per dolar AS usai lebaran. Kejatuhan terjadi karena pasar atau investor mengalihkan investasi mereka dari aset berisiko seperti rupiah ke aset aman seperti emas dan dolar AS.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) dan CEO Buana Kassiti Joko Suranto mensinyalir kondisi itu akan memberikan tekanan kepada sejumlah pelaku usaha. Pasalnya, masalah itu bisa mendongkrak harga bahan di industri properti yang pada ujungnya bisa mendongkrak biaya produksi.
“Dampaknya adalah biaya produksi. Kan ada yang dari 185 industri (pendukung sektor properti) tadi kan, semuanya membutuhkan listrik, mungkin sebagian besarnya juga membutuhkan bahan bakar, kemudian juga membutuhkan transport, ketika alat produksinya membutuhkan listrik, listriknya taruhlah dari menggunakan bahan bakar minyak,” ujar Joko.
Adapun bahan bangunan yang berpotensi untuk cenderung naik ada pada industri berupa pabrik. Sebab, industri tersebut banyak bergantung pada bahan bakar, listrik, dan komponen lain yang rentan mahal akibat kondisi perang.
“Bahan yang paling krusial itu yang dari pabrik, yang dihasilkan dari manufaktur ketika bahan bangunan yang dari alam itu relatif masih tidak bisa ditahan. Tapi kalau manufaktur kan faktor produksinya memang ada kenaikan karena ada tekanan dari bahan bakar minyak itu,” jelasnya.
(agt)